Jakarta- pedulinusantaranews.com,- Dewan Pimpinan Pusat Lembaga Peduli Nusantara jakarta berpendapat bahwa tidak ada istilah terlambat untuk mendaftarkan perjanjian perkawinan yang dibuat.
Pembuatan perjanjian perkawinan dimungkinkan dalam Pasal 29 UU No. 1 Tahun 1974tentang Perkawinan. Pengesahan perjanjian disahkan pegawai pencatat perkawinan, dalam hal ini pegawai Kantor Urusan Agama (KUA) bagi pasangan yang beragama Islam.
Pencatatan perjanjian kawin itu dilakukan demi memenuhi asas publisitas.
Pasal 47 Buku I Kompilasi Hukum Islam (KHI) juga mengatur calon mempelai dapat membuat perjanjian tertulis mengenai kedudukan harta dalam perkawinan pada waktu atau sebelum perkawinan dilangsungkan. Pihak yang mengesahkan perjanjian itu adalah pegawai pencatat nikah.
Bagaimana kalau kedua belah pihak lupa mendaftarkan perkawinan. Meskipun telat atau melewati batas waktu yang ditetapkan undang-undang, pendaftaran perjanjian perkawinantetap perlu karena berkaitan dengan daya ikat perjanjian terhadap pihak ketiga.
Perjanjian perkawinan yang dibuat sebelum perkawinan dilangsungkan atau saat perkawinan dilangsungkan dengan ditandantangani oleh akta notaris tetap berlaku sepanjang isi perjanjian tersebut tidak bertentangan dengan batas-batas hukum, agama dan kesusilaan.
Perjanjian perkawinan hanya berlaku bagi kedua belah pihak jika tak didaftarkan di KUA (pegawai pencatat perkawinan)
Perjanjian tersebut tetap berlaku kalau hanya ditandatangani oleh Notaris. Tetapi, kalau tidak didaftarkan maka perjanjian hanya berlaku bagi kedua belah saja, tidak berlaku bagi pihak ketiga
Pasal 1340 KUH Perdata menyebutkan suatu perjanjian hanya berlaku bagi para pihak yang membuatnya. Pihak ketiga bisa mendapatkan manfaat atau rugi dari perjanjian itu selain apa yang ditetapkan dalam Pasal 1317 KUH Perdata.
Pasal terakhir ini membuka peluang penetapan suatu perjanjian agar berlaku kepada pihak ketiga.
Pengadilan Agama (PA) Bandung belum lama ini memutuskan mengabulkan permohonan satu pasangan perkawinan campuran antara perempuan Indonesia dengan warga negara Australia.
Perkawinan keduanya dilakukan berdasarkan agama Islam.
Sebelum pernikahan dilangsungkan Oktober 2011, kedua belah pihak telah membuat perjanjian perkawinan di bawah tangan mengenai pemisahan harta. Pada 2014, pasangan ini baru ingat belum mendaftarkan perjanjian perkawinan yang telah mereka tanda tangani tiga tahun sebelumnya. Akhirya, mereka sepakat mengajukan permohonan penetapan pengesahan perjanjian perkawinan ke PA Bandung.
Hakim PA Bandung mengabulkan. Hakim menyatakan sah perjanjian perkawinan yang dibuat para pemohon. memerintahkan Pejabat/Pegawai KUA atau pejabat yang berwenang untuk mencatat perjanjian kawin tentang pemisahan harta pada pinggir Akta Nikah pasangan itu, dan membebankan biaya perkara kepada pemohon sebesar Rp161.000.
Dalam pertimbangannya, hakim mengutip Pasal 29 ayat (1) UU No 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Pasal tersebut berbunyi Pada waktu atau sebelum perkawinan dilangsungkan, kedua pihak atas persetujuan bersama dapat mengadakan perjanjian tertulis yang disahkan oleh Pegawai pencatat perkawinan, setelah mana isinya berlaku juga terhadap pihak ketiga sepanjang pihak ketiga tersangkut.
Kedua pemohon telah membuat perjanjian di hadapan notaris sebelum keduanya melangsungkan perkawinan.
Oleh karena permohonan tidak bertentangan dengan hukum, maka hakim mengabulkan permohonan penetapan perjanjian perkawinan tersebut. (Arthur)
Posting Komentar