Jakarta-pedulinusantaranews.com,- Dewan Pimpinan Pusat Lembaga Peduli Nusantara jakarta berpendapat bahwa,persoalan pertanahan memang seakan tidak pernah usai, hal tersebut disebabkan oleh beberapa hal yang salah satunya adalah faktor meningkatnya kebutuhan ekonomis akan tanah dan berbanding terbalik dengan ketersediaan jumlah tanah yang sifatnya cendrung statis. Kondisi faktual tersebut setidaknya telah mementaskan berbagai kegiatan akademis yang mengulas, membahas dan mengkaji tentang sengketa, konflik dan perkara pertanahan guna mencari solusi penyelesaiannya.
Meskipun para pakar menyatakan bahwa pembidangan hukum yang menjadi cakupan Undang-Undang No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA) adalah meliputi; Hukum Perdata dan Hukum Administrasi Negara saja (Boedi Harsono, 2008:9), namun jika ditilik kembali kepada kronologis terjadinya sengketa, konflik dan perkara pertanahan maka tidak menutup kemungkinan ketika membahas UUPA juga bertalian dengan pembahasan Hukum Pidana.
Kejahatan Terhadap Tanah
Istilah ”Perbuatan Pidana atau ”Tindak Pidana” sering diartikan sebagai sebuah ”Kejahatan” yang di dalamnya terdapat delik yaitu; sebuah tindakan yang telah dilakukan dengan sengaja ataupun tidak sengaja oleh seseorang yang tindakannya tersebut dapat dipertanggungjawabkan dan oleh undang-undang telah dinyatakan sebagai suatu perbuatan yang dapat di hukum (Leden Marpaung, 2005: 8).
Bertalian dengan kejahatan terhadap tanah, maka yang dimaksud di sini adalah kejahatan yang berhubungan dengan hak-hak atas tanah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 jo. Pasal 53 UUPA. Dari segi pengertian, istilah hak atas tanah ditafsirkan juga sebagai hak penguasaan atas tanah yang berisikan rangkaian wewenang, kewajiban dan/atau larangan bagi pemegang haknya untuk berbuat sesuatu mengenai tanah yang dihaki (Boedi Harsono, 2008:24).
Pada literatur yang pernah ada, terdapat sedikitnya 3 kelompok kejahatan terhadap tanah berdasarkan waktu terjadinya perbuatan kejahatan tersebut, yaitu: 1.Pra-Perolehan. 2.Menguasai Tanpa Hak .
3.Mengakui Tanpa Hak (Anonim dalam Aloysius Mudjiyono dan Mahmud Kusuma, 2014: 4).
Dari segi substansi, uraian kelompok kejahatan terhadap tanah tersebut di atas antara lain:
1.Pra-Perolehan: merupakan rangkaian perbuatan yang dilakukan sebelum diperoleh/didapatkannya suatu hak atas tanah.
Pada kelompok tindak pidana ini, maka unsur utama dan penting untuk ditemukan adalah adanya perbuatan melanggar dan/atau menyalahi hukum yang dilakukan pelaku dalam upaya membuktikan adanya hubungan hukum antara pelaku dengan bidang tanah yang dikuasainya.
2.Menguasai Tanpa Hak:
menggambarkan adanya hubungan hukum yang tidak sah antara pelaku dengan tanah yang dikuasainya. Ada penegasan kata “tanpa hak” dalam penguasaan tanah yang dilakukan pelaku, sehingga menunjukan adanya pihak lain yang memiliki hak atas tanah dimaksud.
3.Mengakui Tanpa Hak:
Bisa jadi secara fisik bidang tanah dimaksud belum dikuasai oleh pelaku, namun secara pengakuan, pelaku telah mengakui bahwa hanya dialah yang memiliki hak atas tanah tersebut sehingga memungkinkan pihak yang menguasai bidang tanah mengalami kerugian atas pengakuan pelaku tersebut.
Delik Pidana.
Berdasarkan uraian di atas, maka merujuk pada Buku II dan Buku III Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), ada beberapa delik pidana yang cendrung terjadi dalam konteks kejahatan terhadap tanah, diantaranya:
1.Delik pidana berkaitan dengan Pra-Perolehan Hak Atas Tanah berupa; pemalsuan surat dengan ancaman hukuman 6 tahun penjara (Pasal 263), pemalsuan surat-surat autentik dengan ancaman hukuman 8 tahun penjara (Pasal 264) dan menggunakan atau menyuruh menggunakan keterangan palsu dalam akta autentik dengan ancaman hukuman 7 tahun penjara (Pasal 266).
2.Delik pidana berkaitan dengan Menguasai Tanpa Hak sebagaimana diatur pada Pasal 385 KUHP dengan ancaman hukuman 4 tahun penjara.
3.Delik pidana berkaitan dengan mengakui tanpa hak sebagaimana diatur dalam Pasal 167 dan 168 KUHP dengan ancaman hukuman penjara maksimal 1 tahun 4 bulan lamanya.
Selain itu, juga terdapat beberapa pasal dalam KUHP yang bertalian dengan kejahatan terhadap tanah di antaranya; menggeser atau bahkan menghilangkan patok tanda batas bidang tanah dengan ancaman hukuman 2 tahun 4 bulan penjara (Pasal 389), pegawai negeri yang karena jabatannya memaksa pihak lain untuk menguntungkan dirinya sendiri (terkait dengan hak atas tanah) dengan ancaman hukuman 4 tahun penjara (Pasal 425).
Dan pasal-pasal lainnya yang terdapat dalam KUHP terkait dengan kejahatan terhadap tanah.
Di samping KUHP, masih terdapat beberapa instrumen hukum lain yang dapat dikaitkan dengan kejahatan terhadap tanah, seperti; Undang-Undang Nomor 51 Tahun 1960 tentang Larangan Pemakaian Tanah Tanpa Izin, Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, serta yurisprudensi yang berkaitan dengan kejahatan terhadap tanah.
Tidak sedikit masyarakat yang belum memahami terhadap kemungkinan terjadinya kejahatan terhadap tanah. Melalui tulisan ini kiranya mampu membuka cakrawala berfikir guna meningkatkan wawasan dan pengetahuan hukum bagi masyarakat luas dalam kaitan untuk menjaga hak-haknya atas tanah.
Untuk mewujudkan kepastian hukum hak atas tanah bagi masyarakat adalah dengan sesegera mungkin melakukan pendaftaran atas tanah-tanah yang secara sah serta nyata dikuasai oleh yang bersangkutan kepada institusi yang berwenang Badan Pertanahan Nasional guna memperkecil kemungkinan terjadinya tindak kejahatan terhadap tanah yang dimiliki. (Arthur)
Posting Komentar