Apa yang harus dilakukan apabila terdapat 2 sertifikat hak atas tanah yang dimiliki 2 pihak berbeda. Diatas tanah yang sama.
Jakarta- pedulinusantaranews.com,- Dewan Pimpinan Pusat Lembaga Peduli Nusantara jakarta berpendapat bahwa untuk mengetahui keabsahan sertifikat,kita dapat mendatangi Kantor Pertanahan di mana tanah tersebut berada untuk memastikan kebenaran dari masing-masing sertifikat.
Hak atas informasi ini telah dijamin oleh Pasal 34 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah:
Setiap orang yang berkepentingan berhak mengetahui data fisik dan data yuridis yang tersimpan di dalam peta pendaftaran, daftar tanah, surat ukur dan buku tanah.
Dari informasi tersebut,kita dapat memastikan apakah sertifikat tersebut tercatat di Kantor Pertanahan atau tidak.
Tindak Pidana Pemalsuan Akta Autentik.
Didalam hal ini di dapati bahwa salah satu sertifikat tidak tercatat di Kantor Pertanahan, dapat diduga pihak pemegang sertifikat tersebut melakukan pemalsuan atau pemakaian akta autentik palsu yang diatur dalam Pasal 264 ayat (1) angka 1 dan ayat (2) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (“KUHP”):
Pasal 264 ayat (1) angka 1 KUHP
Pemalsuan surat diancam dengan pidana penjara paling lama delapan tahun, jika dilakukan terhadap:
akta-akta otentik.
Pasal 264 ayat (2) KUHP
Diancam dengan pidana yang sama barang siapa dengan sengaja memakai surat tersebut dalam ayat pertama, yang isinya tidak sejati atau yang dipalsukan seolah-olah benar dan tidak dipalsu, jika pemalsuan surat itu dapat menimbulkan kerugian.
Menurut R. Soesilo dalam buku Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal, surat yang dipalsu itu harus suatu surat yang, salah satunya, dapat menerbitkan hak (hal. 195).
Sementara akta autentik yang dimaksud adalah akta yang dibuat di hadapan seorang pegawai negeri umum yang berhak untuk itu, seperti notaris, pegawai pencatat jiwa, dan sebagainya (hal. 197).
Apabila dalam kasus tumpang tindih sertifikat hak atas tanah yang tanyakan terdapat dugaan pemalsuan sertifikat hak atas tanah, dapat melaporkannya ke pihak kepolisian atas dasar dugaan tindak pidana pemalsuan akta autentik.
Penyelesaian Sengketa Melalui Kantor Pertanahan.
Apabila sertifikat tersebut tercatat di Kantor Pertanahan, maka dapat mengajukan pengaduan kepada Kepala Kantor Pertanahan sebagaimana yang diatur dalam Pasal 6 ayat (1) dan (2) Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 11 Tahun 2016 tentang Penyelesaian Kasus Pertanahan (“Permen ATR/BPN 11/2016”).
Pengaduan paling sedikit memuat identitas pengadu dan uraian singkat kasus serta harus dilampiri dengan fotokopi identitas pengadu, fotokopi identitas penerima kuasa dan surat kuasa apabila dikuasakan, serta data pendukung atau bukti-bukti yang terkait dengan pengaduan.
Pengaduan akan diproses dengan dilakukannya pengumpulan data, analisis, pengkajian, dan pelaporan dalam rangka menyelesaikan sengketa dan konflik.
Pasal 24 ayat (7) Permen ATR/BPN 11/2016 menjelaskan sebagai berikut:
Dalam hal di atas satu bidang tanah terdapat tumpang tindih sertifikat hak atas tanah, Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional atau Kepala Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional sesuai kewenangannya menerbitkan keputusan pembatalan sertifikat yang tumpang tindih, sehingga di atas bidang tanah tersebut hanya ada 1 sertifikat hak atas tanah yang sah.
Upaya Hukum terhadap Penyelesaian Sengketa
Jika ada pihak yang keberatan atas hasil penyelesaian tersebut, maka dapat diajukan upaya administratif maupun gugatan ke Pengadilan Tata Usaha Negara.
Menurut hemat kami, Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala BPN atau Kepala Kantor Wilayah BPN dapat diklasifikasikan sebagai pejabat tata usaha negara berdasarkan Pasal 1 angka 8 Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 5 tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara (“UU 51/2009”) dan keputusan pembatalan sertifikat tersebut dapat diklasifikasikan sebagai keputusan tata usaha negara.
Terhadap keputusan tata usaha negara, dapat dilakukan upaya administratif yang berdasarkan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan (“UU 30/2014”), mencakup dua jenis, yaitu upaya keberatan dan banding.
Warga masyarakat dapat mengajukan keberatan kepada badan dan/atau pejabat pemerintahan yang menetapkan keputusan dan/atau tindakan yang dirasa merugikan tersebut.
Apabila warga masyarakat tidak menerima penyelesaian keberatan itu, maka dapat diajukan banding ke atasan pejabat terkait.
Jika warga masyarakat tidak menerima penyelesaian banding, warga masyarakat dapat mengajukan gugatan ke Pengadilan Tata Usaha Negara.
Maka, jika telah diajukan pengaduan terhadap permasalahan tumpang tindih sertifikat hak atas tanah, namun tidak menerima penyelesaiannya, maka ,melakukan upaya hukum administratif kepada Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional atau Kepala Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional atau atasan jabatannya atau ajukan gugatan ke Pengadilan Tata Usaha Negara.
Patut diperhatikan bahwa kini perkara perbuatan melanggar hukum oleh badan dan/atau pejabat pemerintahan (onrechtmatige overheidsdaad) merupakan kewenangan peradilan tata usaha negara. (Arthur)
Dasar Hukum:
1.Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.
2.Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Pengadilan Tata Usaha Negara sebagaimana yang telah diubah pertama kali dengan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 5 tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara sebagaimana yang telah diubah kedua kali dengan Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 5 tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara.
3.Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan.
4.Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah.
5.Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 11 Tahun 2016 tentang Penyelesaian Kasus Pertanahan.
6.Peraturan Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 2019 tentang Pedoman Penyelesaian Sengketa Tindakan Pemerintahan dan Kewenangan Mengadili Perbuatan Melanggar Hukum oleh Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan (Onrechtmatige Overheidsdaad).
Referensi:
R. Soesilo. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal. Bogor: Politeia, 1991.
Posting Komentar