Jakarta- pedulinusantaranews.com,- Gerai Hukum Art & Rekan berpendapat bahwa,perselingkuhan kerap terjadi meskipun telah menikah.
Hal ini yang selalu menjadi pertanyaan bagaimana hukum Indonesia memandang perselingkuhan yang dilakukan oleh suami atau isteri.
Perselingkuhan dalam hukum pidana di Indonesia
Pada dasarnya, hukum perkawinan di Indonesia sebagaimana diatur dalam Pasal 1 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan mengatur bahwa: “Perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”.
Namun seringkali pasangan suami,istri mengalami berbagai macam ujian dan cobaan dalam upaya mewujudkan tujuan tersebut.
Misalnya, adanya godaan dari pihak ketiga yang menyebabkan perselingkuhan, baik dari pihak suami atau istri.
Dampaknya mengakibatkan keretakan hubungan rumah tangga hingga perceraian.
Perlu kami jelaskan terlebih dahulu bahwa Istilah “perselingkuhan” tidak diatur secara khusus dalam KUHP maupun aturan hukum pidana lainnya.
Hukum pidana atau KUHP hanya mengenal istilah “gendak (overspel)”.
Menurut R. Soesilo dalam bukunya “Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal”, menjelaskan bahwa gendak (overspel) adalah persetubuhan yang dilakukan oleh laki-laki atau perempuan yang telah kawin dengan perempuan atau laki-laki yang bukan isteri atau suaminya, atau secara singkatnya terjadi zina / perzinahan, maka untuk dapat dikatakan sebagai gendak (overspel).
Pasangan yang dikatakan selingkuh tersebut harus sudah melakukan perzinahan dengan bersetubuh atau berhubungan badan (telah terjadi penetrasi alat kelamin), dan persetubuhan itu harus dilakukan atas dasar suka sama suka, tidak boleh ada paksaan dari salah satu pihak.
A.Pertanggung jawaban hukum pidana Gendak (Overspel).
Suami atau istri yang terbukti melakukan gendak (overspel), dapat melaporkan pasangannya tersebut (yang melakukan tindak pidana) secara pidana melalui Kepolisian.
Dasar laporan diatur Pasal 284 ayat (1) KUHP, dengan ancaman pidana penjara paling lama sembilan bulan.
Pasal tersebut mengatur:
(1) Diancam dengan pidana penjara paling lama sembilan bulan:
1. a. Seorang pria yang telah kawin yang melakukan gendak (overspel), padahal diketahui bahwa pasal 27 BW berlaku baginya,
b. Seorang wanita yang telah kawin yang melakukan gendak, padahal diketahui bahwa pasal 27 BW berlaku baginya,
2. a. Seorang pria yang turut serta melakukan perbuatan itu, padahal diketahuinya bahwa yang turut bersalah telah kawin;
b. Seorang wanita yang telah kawin yang turut serta melakukan perbuatan itu, padahal diketahui olehnya bahwa yang turut bersalah telah kawin dan pasal 27 BW berlaku baginya.
(2) Tidak dilakukan penuntutan melainkan atas pengaduan suami/istri yang tercemar, dan bilamana bagi mereka berlaku pasal 27 BW, dalam tenggang waktu tiga bulan diikuti dengan permintaan bercerai atau pisah-meja dan ranjang karena alasan itu juga.
(3) Terhadap pengaduan ini tidak berlaku pasal 72, 73, dan 75.
(4) Pengaduan dapat ditarik kembali selama pemeriksaan dalam sidang pengadilan belum dimulai.
(5) Jika bagi suami-istri berlaku pasal 27 BW, pengaduan tidak diindahkan selama perkawinan belum diputuskan karena perceraian atau sebelum putusan yang menyatakan pisah meja dan tempat tidur menjadi tetap.
Dalam Pasal 284 ayat (2) KUHP tersebut di atas, proses penuntutan atau pelaporan tindak pidana gendak (overspel) hanya dapat dilakukan atas pengaduan suami atau istri.
Pasalnya, tindak pidana tersebut termasuk dalam delik aduan (klacht delict).
R. Soesilo menegaskan, Pasal 284 KUHP ini merupakan suatu delik aduan yang absolut, artinya tidak dapat dituntut apabila tidak ada pengaduan dari pihak suami atau istri yang dirugikan dan atau yang dimalukan.
Selain itu, laporan pidana gendak (overspel) tidak dapat diproses lebih lanjut oleh Kepolisian apabila yang melaporkan bukanlah pasangan resmi pihak yang dirugikan.
R. Soesilo menambahkan pula bahwa pengaduan ini tidak boleh dibelah. Artinya, jika anda mengadukan bahwa suami anda telah berzinah dengan perempuan lain, maka suami anda maupun perempuan tersebut yang turut melakukan perzinahan, keduanya harus dituntut.
Pada prinsipnya dalam tindak pidana gendak (overspel) sebagaimana diatur dalam Pasal 284 KUHP diperlukan adanya suatu hubungan alat kelamin yang telah selesai dilakukan oleh antara seorang pria dan seorang wanita.
Hal ini sering menjadi kendala dan atau salah satu hal yang sulit untuk dibuktikan oleh pelapor.
Sementara suatu tindak pidana gendak (overspel) adalah membuktikan adanya ‘persetubuhan’.
Persetubuhan tersebut telah dilakukan dengan secara sengaja (menghendaki dan mengetahui apa yang ia lakukan) atau telah adanya niat (mens rea) untuk melakukan tindakan tersebut (actus reus).
Sehingga selain bukti adanya persetubuhan, unsur kesengajaan itu harus terbukti pada si pelaku.
Walaupun kedua hal tersebut mungkin sangat sulit untuk dibuktikan, namun pihak pelapor wajib berupaya untuk menunjukkan bukti-bukti terkait terjadinya persetubuhan dengan secara sengaja tersebut.
Apabila pihak pelapor tidak dapat membuktikannya, maka laporan tersebut kemungkinan akan sangat sulit untuk diproses dan atau ditindaklanjuti oleh Kepolisian.
Sementara alat bukti yang digunakan dalam membuktikan adanya perbuatan gendak (overspel) adalah alat bukti yang telah diatur dalam Pasal 184 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), yaitu:
1.keterangan saksi, 2.keterangan ahli,
3.surat, petunjuk, keterangan terdakwa.
Tindak pidana gendak (overspel) merupakan tindak pidana yang masa daluwarsa atau kewenangan penuntutan pidananya hapus sesudah enam tahun.
Hal tersebut diatur dalam Pasal 78 ayat (1) angka 2 KUHP, yakni “Mengenai kejahatan yang diancam dengan pidana denda, pidana kurungan, atau pidana penjara paling lama tiga tahun, sesudah enam tahun”.
B.Penyelesaian masalah.
Pada dasarnya upaya hukum pidana adalah upaya terakhir (ultimum remidium) dalam penyelesaian suatu masalah.
Maknanya adalah apabila suatu perkara dapat diselesaikan melalui upaya lain seperti kekeluargaan, musyawarah, negosiasi dan mediasi, maupun perdata, maka hendaklah diselesaikan terlebih dahulu melalui jalur atau upaya-upaya lain tersebut.
Ketika terjadi dugaan tindak pidana gendak (overspel), kami menyarankan agar sebaiknya lebih mengedepankan upaya penyelesaian secara kekeluargaan dengan pasangan.
Apabila pasangan yang terduga, atau bahkan telah terbukti melakukan gendak (overspel), kami menyarankan beberapa upaya lain untuk dapat anda lakukan, yaitu:
1. Melakukan introspeksi diri dan evaluasi internal terhadap hubungan rumah tangga (antara anda dengan pasangan resmi anda), dengan cara memberikan nasihat dan atau pengertian kepada pasangan untuk kembali berkomitmen dan dapat melanjutkan kembali hubungan rumah tangga sebagaimana tujuan dan sumpah perkawinan.
2. Melayangkan teguran (somasi) terhadap pihak ketiga yang turut serta dalam perbuatan gendak oleh pasangan, dengan melampirkan bukti-bukti, serta mencantumkan aturan atau ancaman sanksi pidana.
Harapannya, pihak ketiga tersebut mengetahui ancaman sanksi pidana bagi dirinya apabila yang bersangkutan sampai mengabaikan teguran (somasi) dan tetap mengganggu keharmonisan hubungan rumah tangga dengan pasangan.
3. Mempertimbangkan kembali psikologis, jiwa dan mental serta masa depan anak (bagi yang telah mempunyai anak) sebelum mengambil keputusan untuk melakukan atau menempuh upaya perceraian.
Setidaknya melakukan musyawarah secara kekeluargaan dengan keluarga besar untuk menghindari dan atau agar tidak sampai terjadi pengambilan keputusan upaya perceraian.
4. Melakukan konsultasi terlebih dahulu atau pendampingan melalui pengacara apabila pada akhirnya situasi dan kondisi terpaksa harus mendorong untuk mengambil keputusan terburuk, yaitu menempuh upaya hukum laporan pidana gendak (overspel) terhadap pasangan.
Kami tekankan kembali kewajiban dari pelapor untuk membuktikan persetubuhan dan unsur kesengajaan itu sendiri
Pengacara atau konsultan Hukum akan membantu untuk memeriksa dan mempelajari kronologi permasalahan, menyiapkan langkah upaya dan bukti-bukti, serta hal-hal lain yang dibutuhkan dalam proses laporan pidana agar laporan dapat diterima dan diproses/ditindaklanjuti oleh kepolisian. (Arthur)
Posting Komentar