Penetapan
Jakarta- pedulinusantaranews.com,- Gerai Hukum Art & Rekan berpendapat bahwa mengenai penetapan dijelaskan oleh Yahya Harahap dalam bukunya Hukum Acara Perdata: Tentang Gugatan, Persidangan, Penyitaan, Pembuktian, dan Putusan Pengadilan (hal. 40).
Yahya menjelaskan bahwa putusan yang berisi pertimbangan dan diktum penyelesaian permohonan dituangkan dalam bentuk penetapan, dan namanya juga disebut penetapan atau ketetapan (beschikking; decree).
Sifat diktum yaitu:
1.Diktum bersifat deklarator, yakni hanya berisi penegasan pernyataan atau deklarasi hukum tentang hal yang diminta.
2.Pengadilan tidak boleh mencantumkan diktum condemnatoir (yang mengandung hukuman) terhadap siapa pun;
3.Diktum tidak dapat memuat amar konstitutif, yaitu yang menciptakan suatu keadaan baru, seperti membatalkan perjanjian, menyatakan sebagai pemilik atas sesuatu barang, dan sebagainya.
Upaya Hukum Terhadap Penetapan.
Terhadap penetapan yang dikeluarkan oleh pengadilan, upaya hukum manakah yang dapat diajukan, apakah banding atau kasasi.
berikut penjelasannya:
1.Penetapan atas permohonan merupakan putusan tingkat pertama dan terakhir
Sesuai dengan doktrin dan praktik yang berlaku, penetapan yang dijatuhkan dalam perkara yang berbentuk permohonan atau voluntair, pada umumnya merupakan putusan yang bersifat tingkat pertama dan terakhir.
2.Tehadap putusan peradilan tingkat pertama yang bersifat pertama dan terakhir, tidak dapat diajukan banding
Terkadang undang-undang sendiri secara tegas mengatakan bahwa penetapan atas permohonan itu, bersifat tingkat pertama dan terakhir.
Namun ada kalanya tidak dinyatakan secara tegas.
Akan tetapi, ada juga yang secara tegas mengatakan terhadap penetapan yang dijatuhkan atas permohonan, tidak tunduk pada peradilan yang lebih tinggi.
contoh : Mengenai permohonan pengangkatan wali.
Menurut Pasal 360 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (“KUHPerdata”), permohonan pengangkatan wali dilakukan oleh Pengadilan Negeri atas permintaan keluarga sedarah dan semenda.
Selanjutnya Pasal 364 KUHPerdata menegaskan :
Ketetapan-ketetapan Pengadilan Negeri tentang perwalian tidak bisa dimintakan banding, kecuali jika ada ketentuan sebaliknya.
Mengenai penetapan pengangkatan wali yang diatur pada Pasal 360 KUHPerdata tersebut, Putusan Pengadilan Tinggi Medan tanggal 1 Maret 1952 Nomor: 120 Tahun 1950 menegaskan, antara lain:
Permohonan banding atas putusan PN tentang pengangkatan perwalian berdasarkan Pasal 360 BW, harus dinyatakan niet ontvankelijke verklaard (tidak dapat diterima), karena menurut Pasal 364 BW sendiri dengan tegas mengatakan, bahwa banding atas pengangkatan wali tidak dapat dimohon banding.
berdasarkan uraian tersebut, dapat disimpulkan bahwa penetapan pengadilan merupakan putusan tingkat pertama dan terakhir sehingga upaya hukum banding tidak dapat dilakukan terhadap penetapan.
Upaya hukum banding tidak bisa dilakukan terhadap putusan penetapan. Lalu bisakah dilakukan upaya hukum kasasi.
Pasal 43 ayat (1) Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung (“UU MA”) sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung dan diubah kedua kalinya oleh Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung mengatur mengenai kasasi sebagai berikut:
1.Permohonan kasasi dapat diajukan hanya jika pemohon terhadap perkaranya telah menggunakan upaya hukum banding kecuali ditentukan lain oleh Undang-undang.
2.Permohonan kasasi dapat diajukan hanya 1 (satu) kali.
Kemudian dalam penjelasan Pasal 43 ayat (1) UU MA tersebut mengatur mengenai pengecualian, yang berbunyi:
Pengecualian dalam ayat (1) pasal ini diadakan karena adanya putusan Pengadilan Tingkat Pertama yang oleh Undang-undang tidak dapat dimohonkan banding.
Dengan memperhatikan penjelasan Pasal 43 ayat (1) UU MA tersebut, oleh karena penetapan yang dijatuhkan terhadap permohonan tidak dapat dilakukan upaya banding, maka upaya hukum yang dapat ditempuh adalah upaya hukum kasasi. (Arthur)
Dasar hukum :
1.Kitab Undang-Undang Hukum Perdata;
2. Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung diubah kedua kalinya oleh Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung.
Referensi:
Yahya Harahap. 2016. Hukum Acara Perdata: Tentang Gugatan, Persidangan, Penyitaan, Pembuktian, dan Putusan Pengadilan. Jakarta: Sinar Grafika
Posting Komentar