Jakarta- pedulinusantaranews.com,– Dewan Pimpinan Pusat Lembaga Peduli Nusantara jakarta berpendapat bahwa upaya Malaysia mengklaim warisan budaya Indonesia kembali menjadi sorotan. Kearifan lokal sebagai filter dan jati diri bangsa serta budaya asli Indonesia.
Reog Ponorogo telah menjadi kebanggaan seluruh masyarakat Indonesia.
Reog sebagai, Keilmuan, Pendidikan dan Kebudayaan.
Reog hendak diklaim Malaysia awalnya ramai diberitakan akhir 2007.
Kebudayaan, Kesenian dan Warisan Budaya Malaysia memasang gambar reog.
Hal ini memicu reaksi dari masyarakat Indonesia.
13 Warisan Budaya Lain Hendak Diklaim Malaysia
Upaya Malaysia mengklaim warisan budaya Indonesia sudah terjadi berkali-kali. Setidaknya, selain reog, tercatat ada 12 warisan budaya lain yang hendak diklaim Malaysia.
Warisan budaya tersebut berupa tarian, lagu, makanan, alat musik, pakaian, olahraga, hingga alat kesenian.
Dewan Pimpinan Pusat Lembaga Peduli Nusantara jakarta berpendapat bahwa,Indonesia adalah negara yang menganut pluralitas dalam bidang hukumnya, dimana ada tiga hukum yang keberadaannya diakui dan berlaku yaitu hukum barat, hukum agama dan hukum adat.
Pada prakteknya masih banyak masyarakat yang menggunakan hukum adat dalam mengatur kegiatan sehari-harinya serta dalam menyelesaikan suatu permasalahan yang ada. Setiap wilayah di Indonesia mempunyai tata hukum adatnya masing-masing untuk mengatur kehidupan bermasyarakat yang beraneka ragam yang sebagian besar hukum adat tersebut tidak dalam bentuk aturan yang tertulis.
Hukum adat berkembang mengikuti perkembangan masyarakat dan tradisi rakyat yang ada.
Hukum adat merupakan endapan kesusilaan dalam masyarakat yang kebenarannya mendapatkan pengakuan dalam masyarakat tersebut.
Dalam perkembangannya, praktek yang terjadi dalam masyarakat hukum adat keberadaan hukum adat sering menimbulkan pertanyaan-pertanyaan apakah aturan hukum adat ini tetap dapat digunakan untuk mengatur kegiatan sehari-hari masyarakat dan menyelesaikan suatu permasalahan-permasalahan yang timbul di masyarakat hukum adat.
Sementara negara kita juga mempunyai aturan hukum yang dibuat oleh badan atau lembaga pembuat undang-undang dan peraturan perundang-undangan lainnya.
Antara hukum adat dengan hukum negara mempunyai daya pengikat yang berbeda secara konstitusional bersifat sama tetapi terdapat perbedaan pada bentuk dan aspeknya.
Menurut Van Vollenhoven, hukum adat adalah keseluruhan aturan tingkah laku masyarakat yang berlaku dan mempunyai sanksi dan belum dikodifikasikan.
Menurut Terhaar, hukum adat adalah keseluruhan peraturan yang menjelma dalam keputusan-keputusan adat dan berlaku secara spontan.
Dapat disimpulkan hukum adat adalah suatu norma atau peraturan tidak tertulis yang dibuat untuk mengatur tingkah laku masyarakat dan memiliki sanksi.
Keberadaan hukum adat ini secara resmi telah diakui oleh negara keberadaannya tetapi penggunaannyapun terbatas.
Merujuk pada pasal 18B ayat (2) UUD 1945 dimana menyebutkan”Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undang-undang” yang berarti bahwa negara mengakui keberadaan hukum adat serta konstitusional haknya dalam system hukum Indonesia.
Diatur dalam Pasal 3 UUPA Pelaksanaan hak ulayat dan hak-hak yang serupa itu dari masyarakat-masyarakat hukum adat, sepanjang menurut kenyataannya masih ada, harus sedemikian rupa sehingga sesuai dengan kepentingan nasional dan Negara, yang berdasarkan atas persatuan bangsa serta tidak boleh bertentangan dengan undang-undang dan peraturan-peraturan lain yang lebih tinggi.
Polemik yang sering timbul adalah dalam hal pengakuan hak ulayat atau kepemilikan hak atas tanah.
Hak ulayat yaitu hak penguasaan atas tanah masyarakat hukum adat yang dalam ketentuan peraturan perundang-undangan diakui oleh negara dimana dalam teorinya hak ulayat dapat mengembang (menguat) dan mengempis (melemah) sama juga halnya dengan hak-hak perorangan dan ini pula yang merupakan sifat istimewa hak-hak atas tanah yang tunduk pada hukum adat, “semakin kuat kedudukan hak ulayat maka hak milik atas tanah itu semakin mengempis tetapi apabila semakin kuat hak milik itu maka keberadaan hak ulayat itu akan berakhir”.
Dengan telah diakuinya hak-hak kesatuan masyarakat hukum adat tetapi mengapa masih banyak permasalahan itu terjadi di daerah-daerah Indonesia.
Banyak penggunaan tanah ulayat yang berakhir sengketa karena tidak sesuai dengan seharusnya.
Hal itu timbul karena para investor seharusnya berurusan langsung dengan masyarakat adat sebagai pemilik hak ulayat untuk melaksanakan suatu perjanjian.
Tetapi kenyataannya malah investor tersebut mendapatkan tanahnya melalui pemerintah yang mengakibatkan masyarakat adat selaku pemilik protes karena mengapa melakukan kegiatan investor ditanah mereka.
Timbul juga sebuah kerugian sebagai efek samping dari terjadinya sengketa karena tanah tersebut dalam status quo sehingga tidak dapat digunakan secara optimal dan terjadilah penurunan kualitas sda yang bisa merugikan banyak pihak.
Menjadi pertanyaan bagi masyarakat terkesan Negara dimana sebagai pemberi sebuah jaminan kepastian hukum adat terhadap masyarakat hukum adat dengan di berlakukannya UU No.5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok Agraria (UUPA) diharapkan dapat mengurangi terjadinya sengketa dan memberikan keadilan untuk masyarakat adat.
Karena dalam pasal 3 UUPA menyebutkan bahwa hukum tanah nasional bersumber pada hukum adat seharusnya secara otomatis hak-hak ulayat tersebut diakui tetapi dalam prakteknya tidak.
Terjadinya tumpang tindih aturan yang berakibat kaburnya kepemilikan serta penguasaan dan pengelolaan oleh masyarakat adat dalam tatanan hukum Indonesia karena tidak adanya kepastian kedudukan tersebut.
Untuk kedepannya diharapkan untuk adanya jaminan kepastian hukum tentang pengelolaan hak ulayat masyarakat hukum adat.
Dimana haruslah dibuat secara lebih mendalam atau rinci peraturan perundang-undangannya baik itu bisa dalam Peraturan Presiden atau Peraturan Pemerintah dimana yang jelas dibawah undang-undang, apakah bisa dibuat dalam bentuk tertulis dalam hal hak atas tanah atau untuk pelaksanaannya.
Supaya ada kejelasan hak milik dari pada masyarakat hukum adat itu kedepannya karena selama ini hukum adat memang dikenal dalam UUPA dan juga diatur dalam UUD 1945 tapi sejauh mana keberadaan hukum adat itu bisa menganulir hukum positif tidak ada kejelasannya. (Arthur)
Posting Komentar