Jakarta- pedulinusantaranews.com,- Dewan Pimpinan Pusat Lembaga Peduli Nusantara jakarta berpendapat bahwa memberikan keterangan palsu di bawah sumpah atau yang biasa disebut delik Sumpah Palsu/Keterangan Palsu, diatur dalam Pasal 242 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), khususnya ayat 1 dan 2, yang berbunyi:
Ayat 1
Barang siapa dalam keadaan di mana undang-undang menentukan supaya memberi keterangan di atas sumpah atau mengadakan akibat hukum kepada keterangan yang demikian, dengan sengaja memberi keterangan palsu di atas sumpah, baik dengan lisan atau tulisan, secara pribadi maupun oleh kuasanya yang khusus ditunjuk untuk itu, diancam dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun.
Ayat 2
Jika keterangan palsu di atas sumpah diberikan dalam perkara pidana dan merugikan terdakwa atau tersangka, yang bersalah diancam dengan pidana penjara paling lama sembilan tahun.
Sumpah Palsu/Keterangan Palsu adalah Delik Formil (formeel delict), artinya perumusan unsur-unsur pasalnya dititikberatkan pada perbuatan yang dilarang.
Delik Sumpah Palsu tersebut dianggap telah selesai/terpenuhi dengan dilakukannya perbuatan yang dimaksud dalam rumusan delik tersebut.
Sesuai Pasal 174 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (“KUHAP”), apabila keterangan saksi di bawah sumpah dalam suatu persidangan, diduga/disangka sebagai suatu keterangan yang palsu (tidak benar), maka Hakim Ketua secara ex officio (karena jabatannya) memperingatkan saksi tersebut untuk memberikan keterangan yang benar dan juga mengingatkan akan adanya sanksi pidana apabila ia tetap memberikan keterangan palsu.
Apabila saksi tetap mempertahankan keterangan palsunya, maka Hakim Ketua secara ex officio (karena jabatannya), atau atas permintaan penuntut umum atau terdakwa (maupun Penasihat Hukumnya) dapat memberi perintah agar saksi tersebut ditahan, kemudian panitera pengadilan akan membuat berita acara pemeriksaan sidang yang ditandatangani oleh Hakim Ketua dan panitera, dan selanjutnya diserahkan kepada penuntut umum untuk dituntut dengan dakwaan sumpah palsu.
Didalam praktik, hakim berhak menilai keterangan saksi sebagai salah satu alat bukti.
Secara teknis, saat seorang hakim memiliki keyakinan bahwa saksi berbohong, maka hakim ketua akan menangguhkan sidang untuk bermusyawarah dengan para hakim anggota.
Jika musyawarah mencapai kesepakatan, maka majelis hakim akan mengeluarkan penetapan.
Dengan kata lain, tidak diperlukan adanya suatu laporan pidana terlebih dahulu sebelum majelis hakim mengeluarkan penetapan untuk menahan saksi yang diduga bersumpah palsu.
Tentunya dengan ketentuan, hakim sebelumnya harus memperingatkan saksi untuk memberikan keterangan yang benar dan mengingatkan adanya saksi pidana.
Jadi, ketegasan hakim sangat diperlukan dalam menegakkan tujuan hukum acara pidana, yaitu mencari kebenaran materiil, khususnya dalam hal ini untuk mencari kebenaran yang sesungguhnya dari keterangan saksi yang diduga memberikan keterangan palsu di bawah sumpah.
Sebaliknya, jika saksi yang diduga memberikan keterangan palsu merasa bahwa keterangan yang diberikannya adalah benar atau tidak palsu, namun tetap diproses, maka berpadanan pada asas Presumption of Innocence (praduga tak bersalah), soal bersalah atau tidak bersalahnya itu adalah bergantung dari proses pembuktian perkara di pengadilan.
Sebagai bahan referensi, kami mengutip pendapat R. Soesilo dalam bukunya Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal (hal. 183) disebutkan:
Supaya dapat dihukum pembuat (saksi yang diduga memberikan keterangan palsu) harus mengetahui, bahwa ia memberikan suatu keterangan dengan sadar bertentangan dengan kenyataan dan bahwa ia memberikan keterangan palsu ini di atas sumpah. Jika pembuat menyangka bahwa keterangannya itu sesuai dengan kebenaran, akan tetapi akhirnya keterangan ini tidak benar, dengan lain perkataan, jika ternyata bahwa ia sebenarnya tidak mengenal sesungguhnya mana yang benar, maka ia tidak dapat dihukum.
Mendiamkan (menyembunyikan) kebenaran itu belum berarti suatu keterangan palsu. Suatu keterangan palsu itu menyatakan keadaan lain dari pada keadaan yang sebenarnya dengan dikehendaki (dengan sengaja).
(Arthur)
Dasar Hukum
1.Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.
2.Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana.
Referensi:
R. Soesilo. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal. Bogor: Politeia, 1991.
Posting Komentar