Jakarta- pedulinusantaranews.com,– Gerai Hukum Art & Rekan berpendapat bahwa perusahaan yang dimaksud di sini adalah Perseroan Terbatas (“PT”), dan pemilik perusahaan adalah pemegang saham dalam PT.
Pada dasarnya orang yang namanya tertera dalam sertifikat tanah dan bangunan adalah pemegang hak atas tanah tersebut.
Dalam Pasal 1 angka 20 Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 TentangPendaftaran Tanah (“PP 24/1997”) disebutkan bahwa sertifikat adalah surat tanda bukti hak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (2) huruf c Undang-Und
ang No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (“UUPA”) untuk hak atas tanah, hak pengelolaan, tanah wakaf, hak milik atas satuan rumah susun dan hak tanggungan yang masing-masing sudah dibukukan dalam buku tanah yang bersangkutan.
Sertifikat tanah diberikan kepada pemegang hak atas tanah sebagai perlindungan hukum agar dengan mudah dapat membuktikan dirinya sebagai pemegang hak yang bersangkutan (Pasal 4 ayat (1) jo. Pasal 3 huruf a PP 24/1997).
Oleh karena itu, walaupun uang tersebut berasal dari PT, akan tetapi, jika nama yang tertera dalam sertifikat adalah nama si pemegang saham dalam PT, maka yang berhak atas tanah tersebut adalah si pemegang saham sebagai pemilik tanah.
Akan tetapi, atas hal ini, PT dapat menuntut pemegang saham tersebut atas dasar melakukan penggelapan. Ini karena pada dasarnya uang yang dimiliki oleh PT bukanlah uang pemegang saham, sehingga tidak dapat digunakan untuk kepentingan pribadi pemegang saham (dalam kasus ini pembelian tanah atas nama pemegang saham).
Mengenai PT memiliki kekayaan yang terpisah dari pemegang saham PT, ini merupakan ciri dari PT sebagai entitas yang terpisah dari pemiliknya. M. Yahya Harahap, S.H. dalam bukunya yang berjudul Hukum Perseroan Terbatas (hal. 57) mengatakan bahwa PT merupakan badan hukum yang mempunyai ciri personalitas, yaitu:
1.Perseroan merupakan wujud atau entitas (entity) yang “terpisah” dan “berbeda” dari pemiliknya dalam hal ini dari pemegang saham (separate and distinct from its owner);
2.Dengan demikian secara umum, eksistensi dan validitasnya, tidak terancam oleh kematian, kepailitan, penggantian atau pengunduran individu pemegang saham.
Ciri personalitas yang demikian diatur pada Pasal 3 ayat (1) Undang-Undang No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (“UUPT”) dalam bentuk “pertanggungjawaban terbatas” pemegang saham atas utang Perseroan. Menurut penjelasan Pasal 3 ayat (1) UUPT, ketentuan tanggung jawab terbatas, merupakan penegasan ciri personalitas Perseroan bahwa pemegang saham terpisah tanggung jawabnya sebatas apa yang disetornya kepada Perseroan dengan harta pribadinya.
Disini Perlu diketahui bahwa pemisahan kekayaan Perseroan dengan pemilik atau pemegang saham terjadi sejak Perseroan mendapat keputusan pengesahan dari Menteri Hukum dan HAM (sejak PT menjadi badan hukum).
Pada dasarnya pemegang saham tidak dapat dengan seenaknya menggunakan uang PT untuk melakukan pembelian tanah atas namanya.
Pemegang saham yang menggunakan uang PT untuk kepentingan pribadinya dapat dituntut atas dasar penggelapan, sebagaimana diatur dalam Pasal 372 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (“KUHP”) dan Pasal 374 KUHP:
Pasal 372 KUHP:
Barang siapa dengan sengaja dan melawan hukum memiliki barang sesuatu yang seluruhnya atau sebagian adalah kepunyaan orang lain, tetapi yang ada dalam kekuasaannya bukan karena kejahatan diancam karena penggelapan, dengan pidana penjara paling lama empat tahun atau pidana denda paling banyak sembilan ratus rupiah.
Pasal 374 KUHP :
Penggelapan yang dilakukan oleh orang yang penguasaannya terhadap barang disebabkan karena ada hubungan kerja atau karena pencarian atau karena mendapat upah untuk itu, diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun.
Mengenai Pasal 372 KUHP, R. Soesilo dalam bukunya Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal (hal. 258) mengatakan bahwa penggelapan adalah kejahatan yang hampir sama dengan pencurian dalam Pasal 362 KUHP. Bedanya ialah bahwa pada pencurian barang yang dimiliki itu masih belum berada di tangan pencuri dan masih harus “diambilnya”, sedangkan pada penggelapan waktu dimilikinya barang itu sudah ada di tangan si pembuat tindak pidana tidak dengan jalan kejahatan.
Sedangkan mengenai Pasal 374 KUHP, R. Soesilo menjelaskan bahwa ini adalah penggelapan dengan pemberatan. Pemberatan-pemberatan itu adalah:
1.Terdakwa diserahi menyimpan barang yang digelapkan itu karena hubungan pekerjaannya (persoonlijke dienstbetrekking), misalnya perhubungan antara majikan dengan buruh;
2.Terdakwa menyimpan barang itu karena jabatannya, misalnya tukang binatu menggelapkan pakaian yang dicucikan kepadanya;
3.Karena mendapat upah uang (bukan upah yang berupa barang), misalnya pekerja stasiun membawakan barang orang penumpang dengan upah uang, barang itu digelapkannya.
Akan tetapi, jika pemegang saham tersebut juga bertindak sebagai Direktur PT, maka dapat dipidana dengan Pasal 374 KUHP, sebagaimana dalam Putusan Mahkamah Agung Nomor: 147 K/Pid/2010. Dalam putusan tersebut, pemegang saham sekaligus Direktur Utama PT melakukan penggelapan dengan cara membawa pulang CPU Seismic Data Processing merk HP Proliant seri SGH 503X07A milik PT.
Terdakwa tidak mengembalikan barang milik PT tersebut.
Atas tindakannya, Terdakwa dihukum pidana penjara selama 3 (tiga) bulan. (Arthur)
Dasar Hukum :
1.Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.
2.Undang-Undang No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria.
3.Undang-Undang No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas.
4.Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 Tentang Pendaftaran Tanah.
Referensi:
Putusan Mahkamah Agung Nomor: 147 K/Pid/2010.
Posting Komentar