KEKUASAAN EKSEKUTIF DAN DEMOKRASI Oleh: J. W. Salamony, S.T., S.H., M.H

Tangerang-Merakcyber.com-Perjalanan Nilai Demokrasi,Semboyan dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat telah lama menjadi adagium dalam pelaksanaan demokrasi Pancasila sejak kemerdekaan 17 agustus 1945. Adagium ini sejalan dengan pengertian dari demokrasi itu sendiri yakni demos yang artinya rakyat dan kratos yang artinya kekuasaan yang kemudian diterjemahkan bahwa dalam sebuah kekuasaan pemerintahan, rakyat memiliki andil yang sangat besar dalam pemerintahan itu sendiri baik dalam proses pemilihan pejabat pemerintahan maupun dalam proses pembuatan aturan perundangan dan kebijakan-kebijakan negara, serta menjadi bahagian dari pemerintahan.

Pengamalan Sila keempat Pancasila kemudian menjadikan demokrasi di Indonesia dalam bentuk demokrasi perwakilan. Dalam penyelenggaraan Pemilihan Umum, rakyat memilih partai politik yang ada dalam kontestasi Pemilu, yang kemudian oleh masing-masing partai menunjuk wakil-wakilnya yang duduk di legislatif, sedangkan mereka yang duduk sebagai eksekutif (walikota, gubernur dan presiden) dipilih dalam sidang legislatif. Model demokrasi tidak langsung ini menjadikan eksekutif sebagai mandataris dari legislatif yang merupakan interpretasi dari rakyat itu sendiri.

Pasca reformasi 1998 praktek demokrasi mengalami perubahan dimana kemudian kita 
menggunakan pemilihan langsung dengan system one men - one vote baik untuk pemilihan eksekutif maupun legislatif di pusat maupun daerah. Melihat pemilihan kepala daerah secara langsung tersebut maka dapat dinilai bahwa perwujudan kedaulatan rakyat benar-benar dapat terlaksana, karena tiap-tiap orang dapat menentukan kepala daerah masing-masing. 

Namun apakah pergantian sistem pemilihan kepala daerah dengan penyelenggaraan berdasarkan ketentuan UU No. 32 Tahun 2004 yang juga berlandaskan pada ketentuan Pasal 18 ayat (4) UUD 1945 masih menjadi anomali karena aturan-aturan ini tidak tersirat bahwa kepala daerah (Gubernur, Bupati dan Walikota) dilaksanakan secara langsung. 

Demokrasi akal-akalan
Secara positif keputusan politik mengenai pemilihan kepala daerah yang dilakukan secara langsung sesungguhnya harus dipandang sebagai kemajuan politik hukum pemilihan kepala daerah. Namun kemudian perjalanan pelaksanaan nilai-nilai demokrasi ini tidak lagi terlihat adanya determinasi antara hukum dan politik namun lebih pada dominasi politik dengan membawa semangat rakus akan kekuasaan.

Dimulai dengan adanya keinginan jabatan presiden tiga periode, wacana pemilihan kepada daerah Jakarta sebagai eks Ibukota Negara dengan penunjukan langsung oleh Presiden, hingga penurunan batas usia calon kepala daerah seakan merupakan upaya mematikan nilai demokrasi lewat jalur yang dianggap sebagai sesuatu yang konstitusional. Perdebatan mengenai putusan MK No.90/PUU-XXI/2023 kemudian berakhir dengan argumen bahwa apa yang dilakukan oleh Anwar Usman sebagai ketua MK ketika itu hanyalah berada pada pelanggaran kode etik.

Produk Mahkamah Kostitusi yang merupakan Putusan memiliki kedudukan yang sama dengan Undang-Undang, sehingga kemudian putusan ini harus dijalankan. Pelaksanaan Putusan MK No.90/PUU-XXI/2023 yang kemudian meloloskan slah satu calon wakil presiden ketika pelaksanaan Pemilu 14 February 2024 silam telah selesai dengan berbagai argumen politik. Rakyat dipaksa untuk memahami bahwa Mahkamah Konstitusi yang memiliki kewenangan; Menguji UU terhadap UUD 1945; Memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD 1945; Memutus pembubaran partai politik dan; Memutus perselisihan dari hasil pemilihan umum, dapat memutuskan perkara bukan saja memberikan penilaian terhadap produk perundang-undangan namun dapat mengeluarkan sebuah produk perundang-undangan. 

Pelaksanaan kekuasaan Tidak Tak Terbatas 
Bergeser pada pengaturan proses mendapatkan kekuasaan, maka dari ketiga jenis kekuasaan yakni Legislatif, eksekutif dan yudikatif, kekuasaan eksekutiflah yang paling diperebutkan karena kekuasaan eksekutif adalah kekuasaan yang melakukan pengolahan terhadap anggaran negara/daerah. Selain itu mengenai kekuasaan eksekutif yang tidak tak terbatas tidak memiliki penjelasan secara eksplisit batasan-batasannya sehingga kemudian seseorang yang menduduki jabatan eksekutif dapat dengan leluasa menggunakan kekuasaannya termasuk menggerakan seluruh komponen negara/daerah demi kepentingan tertentu.

Kepala eksekutif dapat memberikan tekanan-tekanan politis kepada semua lembaga dibawahnya bahkan kepada lembaga legislatif dan yudikatif. Hal ini karena landasan dalam sistem pemerintahan di Indonesia yang adalah pembagian kekuasaan memungkinkan adanya tarik-menarik kepentingan. Legislatif dan Yudikatif dapat saja tidak berkutik ketika tersandera dengan kepentingan-kepentingan politik, yang mengakibatkan putusan legislatif dan yudikatif akan mengikuti arah dan tujuan eksekutif.
Pengalaman pemerintahan otoriter dan militeristik yang dilaksanakan baik oleh orde lama dan orde baru yang menempatkan kekuasaan presidensil sebagai pusat kekuasaan sebenarnya telah meporak-porandakan tujuan demokrasi itu sendiri. Kekuasaan eksekutif pada saat itu lebih pada kekuasaan “Tak Terbatas” bukan pada kekuasaan “Tidak Tak Terbatas” seperti yang diatur dalam Pasal 17 UUD 1945. Reformasi yang diharapkan membawa perubahan terhadap pelaksanaan kekuasaan eksekutif ternyata tidak benar-benar dapat dilaksanakan.

Perebutan kekuasaan eksekutif pada jabatan presiden maupun kepala daerah seakan menjadi satu paket perebutan dalam melanggengkan kekuasaan “Tak Terbatas”. Kontestasi pilkada bukan lagi bercerita tentang siapa pemimpin yang dapat memikul amanat rakyat menuju era kemajuan bagi seluruh masyarakyat, namun kontestasi pilkada mengacu pada siapa kepala daerah yang memiliki konektifitas dengan pimpinan negara. Intervensi Presiden dapat saja dilakukan dalam pemilihan kepala-kepala daerah, yang secara peta politik dalam pelaksanaan kebijakan pusat akan juga terlaksana di tiap daerah dimana kepentingan kepala daerahnya terkoneksi dengan kepentingan pusat.  

Pelaksanaan kekuasaan seperti ini yang oleh Max Weber dikatakan sebagai sebuah kesempatan yang dimiliki oleh seseorang atau kelompok dengan tujuan untuk memenuhi keinginan atau kehendaknya dalam hubungan sosial walaupun harus menentang atau menghadapi kehendak orang lain. Upaya demikian hanyalah pada satu tujuan bahwa terjadinya legitimasi kekuasaan dimana masyarakat dipaksa menerima dan percaya terhadap pemerintahan, pemimpin, pejabat negara, dan kebijakan-kebijakan yang telah dibuat, dengan melepaskan hak berpendapat.

Lalu jika pertanyaan kemana arah demokrasi Indonesia, membuat kita kemudian diperhadapkan dengan kenyataan bahwa nilai kebangsaan dan demokrasi yang semestinya berjalan pada satu tujuan kini bergerak ke arah yang berlawanan. Proses demokrasi cenderung digunakan untuk memanipulasi tindakan yang mengancam kebangsaan, baik pada proses pemilihan legislatif maupun pemilihan eksekutif, yang membawa demokrasi kearah yang tidak dimengerti oleh rakyat.

(Red/M.A)

Post a Comment

Lebih baru Lebih lama